Asas-Asas Pembagian Hukum Waris Islam ||Essay

 


               Asas-Asas Pembagian Hukum Waris Islam

Artikel ini adalah sebuah kajian yang berkaitan dengan salah satu materi hukum Islam, yaitu hukum kewarisan dalam Islam. Dalam memahami pembagian waris dalam Islam tentunya termasuk pemahaman tentang asas-asas hukum kewarisan itu sendiri yang menjadi acuanan pembagian waris dalam Islam. Beberapa asas hukum waris Islam diantaranya adalah Asas Ijabri, Asas Bilateral, Asas Individual, Asas Keadilan yang Berimbang, Asas Kematian, Asas Integrity, Asas Ta'abudi, Asas Hukukul Maliyah (Hak-Hak Kebendaan), Asas Hukukul Thabi'iyah (Hak-Hak Dasar), Asas Membagi Habis Harta Waris, Asas Perdamaian dalam Membagi Harta Waris, serta Asas Sosial dan Kemanusiaan. Materi terkait asas hukum waris Islam dapat dibaca dan dipahami pada pembahasan artikel ini.

Pengertian Hukum Waris Islam

Kata waris berasal dari bahasa Arab miras. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.

Para ahli faraid banyak memberikan definisi tentang ilmu faraid atau ilmu mawaris. Walaupun definisi-definisi yang mereka kemukakan secara redaksional berbeda, namun mempunyai pengertian yang sama. Misalnya, Hasbi al-Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut : 

عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لاَ يَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلِّ وَارِثٍ وَكَيْفِيَةُ التَّوْزِيْعِ

Suatu ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya.”

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hukum Kewarisan adalah “hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Sistem Hukum Waris Islam 

Menuruh Hazairin, ada tiga macam sistem kewarisan, yaitu pertama sistem kewarisan individual, kolektif, dan mayorat. Sistem kewarisan berdasarkan kitab suci Al-Quran ialah sistem individual, dimana setelah pewaris wafat, harta peninggalannya dapat diadakan pembagian kepada para waris pria dan wanita sesuai hak-nya masing-masing. 

Pengertian Asas Hukum Waris Islam

Kata asas berarti “dasar yang menjadi tumpuan berpikir dan berpendapat”. Kata asas apabila digandengkan dengan kata hukum menurut Van Eikema Hommes adalah “dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif”. Asas hukum dapat dipahami sebagai prinsip dasar atau petunjuk arah yang melahirkan peraturan-peraturan. Jadi, asas hukum kewarisan islam adalah prinsip dasar atau petunjuk arah yang melahirkan peraturan-peraturan terkait dengan hukum kewarisan islam.

Sumber Asas Hukum Waris Islam

        Karena asas adalah merupakan kebenaran sebagai dasar yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat dalam menetapkan hukum terhadap suatu persoalan atau ketetapan hukum, maka berkaitan dengan hukum kewarisan Islam tentu yang menjadi sumber utama adalah hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis, digali dan dipahami kemudian dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad.

Al-Qur'an dan hadis sebagai sumber perumusan hukum Islam yang melahirkan asas-asas hukum kewarisan Islam, dijelaskan oleh Allah swt. pada Q.S. Ali lmran/3:32.

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Terjemahnya : "Katakanlah (Muhammad). "Taatilah Allah dan Rasul Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir." 

Asas-Asas Hukum Waris Islam

Yang menyangkut asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat hukum kewarisan serta sunnah nabi Muhammad SAW. Asas-asas dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 

1. Asas Ijabri

       Yang dimaksud Ijbari adalah bahwa dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis. Artinya, secara hukum langsung berlaku dan tidak memerlukan tindakan hukum baru setelah matinya pewaris atau peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah swt, tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. 

2. Asas Bilateral

     Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam  adalah seseorang menerima hak kewarisan bersumber dari kedua belah pihak  kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Asas kebilateralan itu mempunyai 2 (dua) dimensi saling mewarisi dalam al-Qur’an surah An-Nisa/4 ayat 7, 11, 12, dan 176, yaitu: (1) antara anak dengan orang  tuanya, dan (2) antara orang yang bersaudara bila pewaris tidak mempunyai anak dan orang tua. 

3. Asas Individual

      Asas individual yang dimaksud disini adalah bahwa harta warisan itu akan dibagi-bagikan kepada ahli waris secara perorangan untuk dimiliki masing-masing ahli waris tersebut secara mutlak. Hal ini dapat dilihat dari maksud pasal 176 s/d. 180 KHI yang berbicara mengenai penentuan besarnya perolehan masing-masing ahli waris. Khusus untuk ahli waris yang belum dewasa atau orang yang berada di bawah pengampunan maka untuk memelihara harta tersebut sampai si anak tadi dewasa atau mampu bertindak terhadap hartanya diamgkatlah wali yang diberi amanah dan tanggung jawab. Dengan demikian hak perorangan tersebut akan tetap terpelihara. 

Asas ini diperoleh dari Surat An-Nisa’ ayat (11): 1). Bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan; 2). Apabila anak perempuan itu dua orang atau lebih maka besar bagiannya 2/3 dari harta peninggalan; 3). Jika anak perempuan itu hanya seorang saja maka besar bagiannya adalah seperdua harta peninggalan.

4. Asas Keadilan yang Berimbang 

       Keadilan yang berimbang artinya harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban,antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Misalnya laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing kelak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.  Asas keadilan atau keseimbangan disini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.

Dalam hukum kewarisan islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya merupakan kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris harus berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarganya.  Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga, yakni mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya menurut kemampuannya, sebagaimana firman allah dalam surat al-baqarah ayat 233.

Artinya: "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

5. Asas Kematian

         Hukum  Islam  menetapkan  peralihan harta  seseorang  berlaku  sesudah matinya  pewaris  Tanpa  ada kepastian bahwa  pewaris  meninggal dunia,  warisan  tidak  boleh  dibagi-bagikan kepada ahli waris.20 Pasal  830  KUH  Perdata  (BW) menyebutkan  bahwa  pewarisan hanya berlangsung karena kematian, dengan  demikian  pengertian  hukum waris  barat  menurut  KUH  Perdata (BW)  ialah  tanpa  adanya  orang yang  mati  dan  meninggalkan  harta kekayaan,  maka tidak  ada masalah pewarisan,  sehingga  harus  ada orang  yang  meninggal  dunia, pertama-tama  tentulah  apa  yang dinamakan kematian alami (naturlijkedood). 

6. Asas Integrity

       Asas ini adalah dalam melaksanakan huku. Kewarisan Islam diperlukan hati untuk menaatinya karena terkait dengan aturan yang diyakini kebenarannya. 

7. As Ta'abudi

     Maksud dari asas ini adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah swt.

8. Asas Hukukul Maliyah (Hak-Hak Kebendaan)

      Asas ini adalah hak-hak kebandaan yang artinya hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian, dalam suatu ilmu tidak dapat diwariskan.

9. Asas Hukukul Thabi'iyah (Hak-Hak Dasar)

      Hak-hak dasar (hukukun thabi'iyah) adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia, artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir dan bahkan bayi yang masih dalam kandungan dapat diperhitungkan sebagai ahli waris dengan syarat-syarat tertentu, atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian, tetapi ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, begitu juga suami dan istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya (perkawinan dianggap utuh), maka dipandang cakap untuk mewarisi Hak-hak dari kewarisan ini ada empat macam penyebab seorang mendapat warisan, yakni hubungan kekeluargaan, perkawinan, wala (memerdekakan budak) dan seagama. Hubungan kekeluargaan yaitu hubungan karena nasab atau darah (genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke bawah(Juru' al-mayyil), yaitu anak cucu dan seterusnya, garis keturunan lurus ke atas (uhsul al-mayyit), yaitu ayah, kakek, ibu dan nenek, maupun garis keturunan ke samping (al-hawasy), yaitu saudara.

10. Asas Membagi Habis Harta Waris

       Asas membagi habis semua harta warisan adalah harta warisan harus dibagi habis sehingga tidak tersisa Dari menghitung dan menyelesaikan pembagian dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masing-masing, mengeluarkan hak-hak pewaris seperti mengeluarkan biaya tajhiz, membayarkan hutang dan wasiatnya dan melaksanakan pembagian hingga tuntas Begitu juga apabila terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris lebih besar dari masalah yang ditetapkan(aul), atau sebaliknya terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris yang ada lebih kecil dari asai masalah yang ditetapkan(radd), telah diatur hingga harta warisan habis terbagi sesuai dengan ketentuan.

11. Asas Perdamaian dalam Membagi Harta Waris

     Berkaitan denga asas individual (perorangan), yaitu menyatakan bahwa harta warisan harus dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara individu (perorangan), maka secara individu (perorangan) mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan sesuatu perbutan menurut kehendak pemilik hak tersebut Sedangkan asas perdamaian dalam membagi harta warisan adalah memungkinkan melakukan pembagian harta warisan di luar jalur yang telah ditetapkan Al- Qur'an dan Al-Hadits dan kemungkinan menyalahi ketentuan (kadar) bagian masing-masing ahli waris yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an surat Al-Nisa'/4 7, 11, 12 dan 176.

Penerapan asas perdamaian dalam membagi harta warisan dapat dilakukan atau diterapkan dalam kondisi ada sengketa ataupun dalam keadaan tidak ada sengketa tetapi berkaitan dengan kondisi sosial dan kemanusiaan Penerapan asas perdamaian dalam menyelesaiakan sengketa kewarisan, pernah terjadi pada masa Rasulullah Muhammad saw.

12. Asas Sosial dan Kemanusiaan

     Asas sosial dan kemanusiaan adalah apabila sedang membagi harta warisan, jangan melupakan kerabat, anak-anak yatim dan fakir miskin yang ada disekeliling. Mal ini sesuai Q S An- Nisa'/4: 8 yang artinya :

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat,35 anak-anak yatim dan orang- orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu36(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada merekaperkataan yang baik.. 

Al-Qur'an an surah An-Nisa' ayat 8 tersebut mengingatkan para ahli warisi bahwa apabila pada waktu pembagian harta warisan hadir beberapa orang kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berikanlah kepada kerabat, anak-anak yatim dan fakir miskin tersebut bagian shadaqah dari harta peninggalan (warisan) yang akan dibagi secara wacar (sekedarnya) berdasarkan ketulusan hati dan ucapkanlah perkataan atau perlakuan yang baik. 

Pada surah An-Nisa ayat 11 dan 12 dijelaskan, bahwa sebelum melaksanakan pembagian harta warisan, diperintahkan untuk memenuhi wasiat dan membayar hutang-hutang orang yang meninggal dunia (pewaris) Wasiat diperuntukkan kepada kerabat yang seharusnya mendapat harta warisan, karena sesuatu sebab sehingga tidak mendapatkan harta warisan atau terhalang menerima harta warisan, maka melalui lembaga wasiat pewaris sebelum meninggal dunia berwasiat untuk diberikan kepada kerabat-kerabat tersebut, termasuk bisa berwasiat untuk diberikan kepada anak- anak yatim dan fakir miskin Tiga ayat dari surah An-Nisa tersebut, menunjukkan bahwa hukum kewarisan Islam memiliki asas sosial dan kemanusiaan seperti diuraikan di atas.


Lebih baru Lebih lama