MOTIF BATIK INDONESIA
Muhammad Abdan Syakuro
Wakil Ketua HMJ HES IAIN Pekalongan
Opini Tentang Krisis Indonesia Dewasa Kini, Dan Filsafat
Batik
Berbicara keragaman di Indonesia,
nampaknya tidak perlu dijelaskan secara berbusa-busa, menyangkut jumlah beda
serta yang membedakannya. Semua rakyat Indonesia telah mengerti dan
berpengetahuan akan itu. Perbedaan yang meliputi banyak hal, perbedaaan suku,
ras, etnik, budaya, bahasa kedaerahan, dll. Yang agaknya sudah menjadi maklum,
dan jalannya berkehidupan rakyat indonesia tidak mendapati gesekan yang keras
dari hasil perbedaaan-perbedaan diatas. Tetapi, ketika kita berbicara tentang
perbedaan yang lain, perbedaan “Politik” dan “Agama”, maka terlintaslah di
monitor otak kita berupa kejadian-kejadian yang telah lalu, fitnah, tuntutan,
serangan-serangan, yang nampaknya belum usang sampai sekarang, bahkan membola salju. Yang mana memaksa dan menyeret
banyak pihak untuk dikuras tenaganya.
Yah, rasanya diri kita ini akan
timbul bermacam emosi, semangat juang, dan secara tidak langsung menjadi agen
perjuangan ketika mendengar kata perbedaan. Lebih lanjut ketika orang-orang
dihadapkan pada kata “perbedaan”, kesan
yang timbul hanyalah ikhwal-ikhwal yang berkonotasi negatif, dengan demikian,
ketika kita meletakkan “semangat juang” dengan kata “perbedaan”, sulit rasanya
semangat juang ini tidak menyatakan keberpihakan, maka jadilah semangat juang
yang dikonversi menjadi “semangat juang keberpihakan”.
Lalu, apa kaitan “Perbedaan” dengan
kata “Batik” yang dari awal mejeng di judul?, seperti yang kita ketahui,
bicara batik maka kita bicara tentang corak, motif, warna, model, dan dengan
segenap estetikanya. Yang tentunya jika kita melihat dari daerah satu dengan
daerah yang lainnya berbeda-beda, dan bisa dikatakan tidak ada kain batik di
indonesia ini yang berkesamaan. Atau tidak ada yang sama lah. Batik Yogyakarta, Batik Kraton, Batik Solo, Batik Jepara,
Batik Sidomukti Magetan, Batik Tasik, Batik Malang, Batik Pekalongan, Batik
Mega Mendung, dll. dan masih banyak lagi ribuan batik lainnya yang tidak perlu
saya sebutkan satu-persatu.
Perbedaan corak dan motif batik yang
diciptakan oleh para pendahulu masih dirasa lestari, dan tidak pernah terlintas
di pikiran kita dengan ikhwal yang berkonotasi negatif, yang mana kita rasakan
saat kita berbicara tentang perbedaan politik dan agama. Meskipun dengan
banyaknya perbedaan warna, corak, serta motif, kita tetap saja melihat batik
sebagai karya yang indah dan adem untuk dipandang. Tentang politik dan agama?
Keterbalikannya, dengan banyaknya pandangan, pendapat dan ideologi misalnya,
kita tidak mendapati keindahan dibalik itu, malahan
sukar hati ini untuk berbicara perbedaan politik dan agama.
Kenapa demikian? Tentang “Sudut
Pandang”, yah inilah opini yang saya ajukan dalam tulisan saya ini, kita
melihat karya batik yang memiliki banyak warna, corak, motif, yang kita lihat
sebagai suatu karya jadi dan utuh, yang telah tercanting dan terwarna indah
pada suatu kain, kita sudah melihat banyaknya perbedaan disana, sebagai yang
sudah “berbentuk kesatuan”. Yang agaknya kita setuju untuk memaklumi keindahan
itu terlepas dari banyaknya perbedaan yang ada.
Lain lagi tentang memandang
perbedaan politik dan agama, yang dari awal kita melihat melalui keberpihakan
kita kepada satu warna tertentu. Tegasnya kita tidak melihat keindahan apapun
dibalik perbedaan tersebut, rasanya akan sulit sekali memaknai keindahan pada
satu warna, ataupun satu corak dan satu motif. Yaitu warna, motif, corak diri
sendiri dimana kita berpihak. Apalagi memberi makna “warna” selain “warna”
dirinya itu indah, masuk lebih dalam kepada maksud yang akan saya ajukan,
berbagai pihak masing-masing menawarkan “warna”nya sebagai produk keindahan,
berbagai macam pihak menawarkan warnanya masing-masing yang diyakini sebagai
solusi keindahan bagi bangsa ini. Menambahkan daripada itu, tentu saja kita
tidak bisa membadingkan mana yang lebih indah antara dua “warna” yang berbeda.
Misal kita tidak bisa membandingkan mana yang lebih indah antara hitam dan
putih, antara merah dan biru, kuning dan hijau, coklat dan ungu, karna jika
kita perhatikan dengan seksama, pada hakikatnya tidak bisa dinilai secara
objektif mana yang lebih indah.
Sama halnya ketika kita memberi
penilaian kepada makanan, makanan populer misalnya, kita tidak bisa menilai
mana yang lebih enak antara “Bakso” dan “Mie Ayam”, karna memang seharusnya dua
hal itu tidak bisa diletakkan dalam satu penilaian, dan tentunya orang-orang
tidak bisa disalahkan karna memilih salah satu diantaranya. Kita boleh saja
berpendapat bakso itu enak, tetapi
disamping itu, kita tidak bisa menyatakan secara keras bahwa mie ayam
itu tidak enak. Pada intinya seperti yang saya katakan di awal, pihak-pihak
yang berkisruh dalam ranah “perbedaan” menawarkan keindahannya sendiri,
“kelezatannya”. Berbagai pihak mencoba menawarkan solusinya untuk bangsa ini, sebagai
bukti partisipasinya dalam membantu jalannya perwujudan tujuan negara kita, Indonesia.
Perlu dipahami, saya tidak berbicara
tentang selera, yang mana kita bisa bebas memilih dimana kita berpihak,
seenaknya dengan selera kita. Saya tidak ber-Liberal, karna saya sendiripun
tidak bisa lepas dari keberpihakan. Yaitu tentang keberpihakan yang
masing-masing yang kita bawa dari lahir, yaitu keberpihakan terhadap agama.
Identitas saya sebagai seorang muslim, Iman, Islam, Ihsan, yang saya selalu
sematkan dihati, dan dimana jiwa raga ini saya pasrahkan dibawah naungan-Nya.
Maka hendaklah kita tidak bicara
tentang kompromi, ataupun penggabungan dari iuran masing-masing kebenaran dari
masing-masing pihak. Karna yang demikian ini akan terbantah secara jelas ketika
kita mengaitkannya dengan agama. Kisruh yang terjadi dewasa kini, dinamika
politk, gesekan keagamaan, keberpihakan, secara tidak langsung melibatkan
banyak pihak yang seharusnya tidak bergelut didalamnya, khususnya rakyat.
Secara tidak sadar rakyat terseret didalamnya,sesudah itu rakyat akan menyatakan
keberpihakannya pada suatu pihak. Lalu rakyat dituntut untuk melancarkan
serangan dan intervensi kepada pihak-pihak lain. Serta mengorganisir lebih
banyak rakyat lagi untuk menyatakan keberpihakan, keluarga, kerabat, tetangga,
dan lingkungannya.
Rakyat dibutakan, disuntik doktrin,
akan “keindahan” satu pihak, “ini loh keindahan yang sebenarnya” jika kita
mengatakannya dalam cakap-cakap harian, yang disini bersifat
dogmatif-konstruktif. Ya saya menyebutnya demikian, saya tidak asal ngomong saja, tetapi adalah hasil
observasi dari apa yang saya rasakan dewasa kini. Khususnya observasi saya
tentang kehidupan saya sebagai anak kuliahan,yang
dimana saya berstatus mahasiswa dalam menjalaninya. Lalu izinkan saya berbagi
sedikit mengenai penilaian objektif saya ini, yang secara khusus yang akan saya
bahas adalah tentang Organisasi Kemahasiswaan.
Saya mahasiswa semester satu di
salah satu perguruan tinggi Islam di Pekalongan, saya terbilang masih baru,
putih, dan kosong, hanya tinggal menunggu ide-ide apa yang masuk, dari
organisasi kampus, atau ke-putihan saya ini akan berwarna, satu warna yang tergantung
warna mana yang pertama datang, dan menuangkannya kedalam kertas saya.
Organisasi-organisasi berlomba-lomba dalam menyiarkan ideologi dan citanya,
terhadap kami ini MABA (Mahasiswa Baru). Yang tidak lain dan tidak bukan adalah
menuju kepada kaderisasi, diawal mereka memamerkan keindahan organisasi
masing-masing, dan saya tentunya melihat yang demikian ditawarkan itu adalah
sebagai sesuatu yang indah. Saya merasa ada cita yang luhur dari organisasi-organisasi
tersebut, timbul rasa berkewajiban berpartisipasi dalam membangun negeri ini,
atau kewajiban atas hak yang saya ambil sebagai seorang mahasiswa.
Diawal masing-masing proses
pengkaderan, organisasi-organisasi yang mempunyai cara pandang sama dengan aliran yang berbeda masih terasa
maklum, tidak terasa adanya serang menyerang, semuanya bicara yang “indah-indah
saja”. Saya meyakini organisasi-organiasi ini dalam tujuan yang sama, mempunyai
relasi dan koneksi yang baik pula, sehingga saya tidak terlalu ambil pusing
dalam memilih organisasi mana yang harus saya ikuti. Karna toh kesemuanya
membawa cita dan tujuan luhur yang sama.
Tapi ketika melewati masa “promosi”,
mulailah anggota-anggota diberi bekal dasar dalam pergerakan, ideologi dan
pemikiran-pemikiran yang telah dibentuk oleh pendiri-pendirinya. Agar yang
demikian itu, membuat kami mengerti identias organisasi, timbul sama rasa, yang
merujuk pada loyalitas terhadap organisasi. Atau gamblangnya agar kami tidak
membelot, berkhianat pada organisasi. Dalam proses ini pula, organisasi
menampakkan borok organisasi lain,
disamping meninggikan organisasi juga merendahkan organisasi lain, kami mulai
didoktrin akan kesalahan nilai-nilai yang dibangun oleh mereka, dan borok-nya
organisasi tersebut. Yang demikian itu datang dan masuk kepada kami dengan
begitu saja, yah begitu saja. Ini adalah tentang Dogmatif-Kontrukstif yang saya
katakan diawal, adalah tentang menjabarkan suatu ajaran tanpa kritik sama
sekali dan dibangun secara berangsur-angsur. Yang dalam hal ini disampaikan
dalam bentuk apa saja serta situasi apapun. Seperti kegiatan resmi, tongkrongan
kecil, percakapan medsos, bincang perkuliahan, dll. Dan juga dalam bentuknya
pun demikian, kritik terang-terangan saat forum, sarkasme disela percakapan,
guyon saat bercakap-cakap di medsos, dsb.
Masing-masing organisasi menjudge
organisasi lain suka “meng-kambingkan” organiasinya, tetapi disamping itu
“meng-ularkan” organiasi itu. Alih-alih bicara toleransi, berpendirian “ayolah kita jalan masing-masing saja tidak usah
saling ngurusi dan saling judge”. Pada dasarnya mereka juga melakukan judge terhadap
organisasi itu, yang membuat diri saya ini merasa tinggi dan suci ketika
dibawah naungan organiasi sendiri, dan melihat bahwa organisasi lain itu jelek
dari luar. Tetapi ketika saya dihadapkan pada nilai-nilai yang digaungkan
organisasi lain dan melihat organisasi lain dari dalam, membuat saya tampak tolol dan salah kaprah akan pengetahuan yang saya terima, ada sadar yang terbangun, keraguan
akan apa yang saya terima dari senior, tentu saja sebaliknya anggota organisasi
yang lain itu merasa tinggi dan suci di organisasinya, tetapi akan tampak tololdan salahketika dihadapkan “inilah organisasi saya”. Pada
intinya melalui kacamata saya, semua terlihat “sama saja lah”, tanpa
adanya kebenaran yang sejati dan siapa yang “lebih baik” diantaranya, yoh
podo kabeh lah.
Tentang Dogmatif-Kontrukstif, pada
awalnya dibangun dengan halus dan lembut, kini
betul-betul dibangun kokohkan “ruang perbedaaan”, menyatakan bahwa itu
sebuah doktrin dengan doktrin, menyatakan bahwa itu sebuah “jugde asal” dengan “judge
asal” pula, berbicara toleransi dengan intoleransi. Itulah yang dihadapi rakyat
Indonesia dewasan kini. Dogmatif-Kontrukstif yang terus digalakkan membuat
rakyat bukannya semakin kritis tapi malah semakin tolol, bercita tentang
kedamaian dan toleransi, tetapi jalannya dengan meninggikan golongan sendiri
sekaligus merendahkan golongan lain, rakyat dihadapkan pada kebenaran semu yang
datang dari golongannya sendiri, tanpa diberi kesempatan melihat dari sudut
pandang lain,. Ter-mindset bahwa “solusi” darigolongannyaadalahmutlak,
tanpamengetahuialternatifsolusi lain.
Rakya indonesia yang masih susah untuk
mengurus urusan perut, diseret jiwa raganya kepada isu-isu yang tidak perlu,
yang tentunya memeras tenaga dan menjadikan capek pikiran. Mempunyai semangat juang,
tetapi semangat juang keperpihakan, potensi-potensi yang ada dalam diri dan hati
rakyat, di konversi menjadi semangat lain, yaitu semangat golongan. Guna keluar
dari masalah ini, rakyat butuh sudut pandang baru dalam melihat perbedaan,
menjadikan kata “perbedaan” sebagai kata yang tidak lagi berkonotasi negatif,
karna jika kita “Ber-Khusnudzon”. Perbedaan yang terjadi, perihal produk keindahan
yang ditawarkan masing-masing golongan, pada hakikatnya sebagai wujud kecintaan
mereka terhadap tanah air ini, sebagai bukti partisipasinya dalam jalannya bangsa
ini mewujudkan tujuannya. Atau sebagai mana kita perhatikan dengan seksama dalam
ikhwal “Keberagamaan”, berbagai cara dan metode dalam beragama, pada hakikatnya
pelaku agama hanya berusaha sebaik mungkin dalam pandangannya, untuk meraih
“KebajikanTertinggi” dalam agama yang dianutnya.
Lagi-lagi bukan bicara
tentang penggabungan solusi masing-masing golongan, percampuran kebenaran, ataupun liberalisme. Akan tetapi menghapus “pengkotak-kotakan”, membongkar ruangan pembatas, antar “Penikmat Bakso” dan “Penikmat Mie
Ayam”, ruangan berbaju hitam dan putih, ruangan berbaju
merah dan biru, tembok yang membatasi harus
dibongkar,
dan kesemuanya digabungkan dalam satu ruangan. Kedalam
bingkai ke-Bhinekaan, bukan
perihal
yang “satu”, tapi perihal
“kesatuan”. Kesatuan Republik
Indonesia.
Maka hendaklah pemerintah dituntut menciptakan suasana yang nyaman terhadap rakyat dalam menyikapi perbedaan, pemerintah harus bersifat netral dan apa
adanya,
rakyat harus diberi kenyamanan dalam
membanting tulangnya, dan kebebasan
atas kepercayaan yang
diyakininya. Pemerintah
disini berada di tengah-tengah perbedaan, bukan berada diatasnya, sebagai penengah yang meminimalisirakan isu-isu yang menguras tenaga dan
pikiran, yang sebetulnya rakyat tidak perlu dilibatkan. Dan yang
terpenting adalah pemerintah sebagai pengingat kembali akan
tujuan
negara ini dibentuk.
Perbedaan
adalah suatu keniscayaan, Allah tidak menciptakan semua “rasa manis” di dunia ini satu
pun
yang sama rasanya, rasa
manis gula tidak sama dengan rasa manis jeruk, sebagaimana Allah tidak menyamakan
sidik jari satu
manusia dengan sidik
jari manusia
yang lain, juga betapa bervariasinya model wajah umat manusia. Begitu pula dengan batik yang kita bicarakan diawal, adanya perbedaan warna, corak, motif,
menciptakan keindahan. Atau tegasnya keindahan terjadi karena ada perbedaan, mungkin disinilah
maksud
Allah menciptakan kita berbeda, Dia ingin meng-indahkan kita. “Indah”, inilah yang
harus kita lihat melaui sudut pandang kita mengenai perbedaan, dengan kata lain
kita harus memakai sudut pandang yang menghasilkan gambar yang indah.
Karna selamanya
kita tidak akan pernah
sama,
kita selamanya
akan berbeda, janganlah kita bercita
mewarnai dan melukis
warna,
corak, motif, yang satu
pada negeri ini. Jikalau seandainya saya diberi
permohonan oleh Allah, tentang sikap
saya menyikapi perbedaan, semisal saya
ditawarkan demikian; “Golongan mana yang ingin kamu
menangkan?
Dan ingin kamu jadikan
golongan
yang satu dan satu-satunya, untuk menghapus golongan berlainan yang ada, sekaligus menghapus perbedaan?”, maka
saya hanya akan meminta
supaya
Allah tidak pernah menciptakan perbedaan di dunia
ini,
dan membiarkan Allah
menyamakan semuanya.
Jikalau
kita melihat dari angkasa
tinggi,
mata kita tertuju pada bentuk
kepulauan
Negara Indonesia, kita melihat semua perbedaan yang ada di
Indonesia kita ini dari atas, perbedaan
sukunya, etnisnya, rasnya, bahasa daerahnya, agamanya, pandangan politiknya, yang
semisal kita ibaratkan perbedaan suku & etnik adalah sebagai warna dasar,
perbedaan bahasa sebagai tambahan komposisi pewarnaan , perbedaan agama sebagai
corak, dan perbedaan pandangan politik sebagai motif. Dari itu kita bentangkan
kain putih dari sabang hingga merauke, dari ternate hingga tidore, dan beragam
warna, komposisi warna, corak serta motifnya tadi, kita tuangkan pada kain itu.
Maka terciptalah hasil karya batik yang megah dan indah. Itulah pointnya kita
hanya akan melihat keindahan hanya hingga sudah menjadi satu bentuk kesatuan.
bukan saat melihat dari satu sisi. Sesuai dengan estetika Batik, segala perbedaan
unsur-unsur batik indah saat menjadi satu, tapi tidak lebur, seakan-akan
masing-masing unsur menghormati unsur-unsur yang lain. Yang mana sebutan dari
hasil karya indah dan megah ini telah saya sebutkan di judul, yaitu “Motif Batik Indonesia”.

kok ga ada contoh gambarnya gan
BalasHapusOke juga om...
BalasHapus