AKAD
URGENSI AKAD DALAM MUAMALAH
Sebagai makhluk sosial, manusia akan
senantiasa berhubungan dengan orang lain, karena bagaimanapun ia memiliki tuntutan untuk memenuhi
kebutuhannya dan kebutuhan lawan interaksi sosialnya.
Dalam interaksi sosial,
secara syariat, manusia dibatasi oleh upaya memenuhi hak dan kewajiban sebagai
wujud tanggung jawabnya. Tak jarang mereka harus menarik sebuah
kesepakatan-kesepakatan bersama. Proses mendapatkan kesepakatan dan kontrak ini
lazimnya disebut aqad atau dalam bahasa Indonesia, “akad”. Untuk itu ia memiliki
peran pribadi selaku makhluk aqad dalam kehidupannya.
Karena sifat manusia
antara satu dengan yang lainnya berbeda, maka diperlukan aturan baku yang harus
disepakati bersama dalam rangka menarik kesepakatan atau kontrak tersebut. Akad
inilah yang mengatur hubungan antar pihak yang terlibat, sejak akad dimulai
sampai masa berlakunya habis.
Akad sebagai salah
satu produk hukum
(syariat dan fikih)
yang banyak mengalami pengembangan sesuai dengan dinamika manusia
dari masa klasik hingga masa kini dan masa yang akan datang. Akad selalu
berkembang mengikuti dinamika sistem
ekonomi dengan tetap mempertahankan
subtansinya di tengah pertarungan
ekonomi global. Akad
menjadi bagian dari
produk hukum Islam dan
syariat (wahyu) yang
lebih menjamin kemaslahatan manusia.
Sebagai nilai,
akad dalam ekonomi
syariah atau ekonomi Islam dapat melebur ke dalam sistem ekonomi
di dunia ini untuk menjadi penyaring
dan penyeimbang sehingga
sistem perekonomian yang
ada berjalan stabil ke arah
tujuan perekonomian untuk kebaikan semua pihak (al-mashlahah al-’âmmah).
Untuk
membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia dalam mencari sumber
penghidupan, Allah Swt. telah mensyariatkan pelbagai macam akad muamalah
untuk diamalkan. Dengan mengamalkan akad-akad muamalah tersebut, selain
diharapkan dapat memberi kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia juga
merupakan bagian dari amal ibadah sebagai bekal kehidupan akhirat.
Dalam
masalah jual beli
misalnya, Alquran lebih kurang
menyebutkan empat ketentuan saja, yaitu: tentang bolehnya jual beli
(Q.s. al-Baqarah [2]: 275), persyaratan yang harus dipenuhi dalam jual beli
(Q.s. al-Nisâ’ [4]: 29), larangan riba, serta larangan berjual beli pada saat
azan berkumandang untuk salat Jumat (Q.s. al-Jumu‘ah [62]: 9), dan beberapa
penjelasan dari Nabi Saw. tentang ayat-ayat
tersebut. Selain
ketentuan tersebut, manusia diberi kebebasan mengembangkan cara bertransaksi
sesuai tuntutan zamannya.
ONTOLOGI AKAD
Secara bahasa, kata
“akad” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata ,
العقد Kata tersebut
merupakan bentuk mashdar yang
berarti menyimpulkan, perjanjian,
persetujuan, penghitungan, mengadakan pertemuan. Al-‘Aqd dipergunakan dalam
banyak makna, yang keseluruhannya kembali ke makna ikatan atau penggabungan dua
hal. Akad dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
istilah perjanjian, perikatan, atau kontrak.
Sedangkan
secara terminologi hukum Islam, akad berarti pertalian antara ijab dan qabul
dengan sukarela (ridha) yang dibenarkan oleh syariat yang menimbulkan akibat
hukum (hak dan kewajiban) kepada para pihak yang berakad.
Menurut
fuqaha, akad memiliki dua pengertian, yakni pengertian umum dan khusus. Dalam maknanya yang umum, akad adalah semua komitmen yang ingin
dilaksanakan oleh manusia dan menimbulkan hukum syar’i. Pengertian ini mencakup
semua jenis komitmen, baik yang berasal dari dua pihak atau lebih seperti akad
jual-beli, sewa-menyewa dan akad nikah serta yang sejenisnya; ataupun komitmen
yang berasal dari satu pihak saja, seperti akad sumpah, nadzar, talak, akad
memberikan hadiah, shadaqah dan lain-lainnya, termasuk komitmen pribadi untuk
melaksanakan semua kewajiban agama dan meninggalkan semua larangan dalam agama.
Pengertian umum ini lebih dekat dengan pengertian secara bahasa dan
pengertian ini tersebar di kalangan fuqaha malikiyah, syafi’iyah, dan
hanabillah, juga digunakan para Ulama ahli fikih ketika menjelaskan
hukum-hukum umum yang melekat pada suatu akad.
Sedangkan akad dalam
maknanya yang khusus, didefinisikan oleh para Ulama dengan beragam definisi
yang hampir sama. Semua definisi itu tercakup dalam pengertian berikut, yaitu:
رَبْطُ إِيْجَابِ
بِقَبُوْلٍ أَوْ مَا يَقُوْمُ مَقَامَهُمَا عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍs
(akad adalah) transaksi
yang ditandai dengan îjâb dan qabûl atau yang mewakili keduanya yang
dilaksanakan sesuai dengan syari’at. Definisi akad dalam maknanya yang khusus
inilah yang langsung terfahami sebagai definisi akad dalam fikih muamalat
maliyah.
Contoh ijab adalah
pernyataan seorang penjual, ”Saya telah menjual barang ini kepadamu “ atau
“Saya serahkan barang ini kepadamu”contoh qabul ,”Saya beli barangmu .”
atau “Saya terima barangmu.”
Dengan demikian
ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu
keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau
keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam
Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan
sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan
syariat Islam.
Ada beragam akad yang
sering ditemui dalam transaksi syariah, antara lain akad wadiah, mudharabah,
dan murabahah. Contoh penggunaan akad dalam produk pegadaian Syariah adalah akad rahn
dalam produk gadai syariah.
Menurut jumhur fuqaha,
akad memiliki tiga rukun yaitu dua pihak yang melakukan akad (al-âqid),
obyek akad (mahallul ‘aqdi), serta pelafalan (shighah) akad.
Berikut perinciannya
1. Al-Âqid atau ‘Aqidain
Yaitu dua
orang yang terlibat langsung dalam akad atau transaksi. Kedua orang
ini harus memenuhi syarat sehingga transaksinya dianggap sah. Syarat-syarat:
a)
Rasyîd (mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya). Ini
ditandai dengan akil baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang
tercekal karena dianggap ediot atau bangkrut total, jika melakukan akad maka
akadnya tidak sah.
b)
Sukarela dan
tidak terpaksa. Akad yang dilakukan dibawah paksaan tidak sah.
c)
Akad itu
dianggap berlaku dan berkekuatan hukum, apabila tidak memiliki khiyâr (hak
pilih/opsi). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar
‘aib dan sejenisnya.
d)
Seorang ‘aqid
harus memenuhi prinsip kecakapan (ahliyah) melakukan akad untuk dirinya sendiri
atau karena mendapat kewenagan (wilayah) melakukan akad menggantikan orang lain
atau berdasarkan perwakilan (wakalah).
2. Mahallul ‘aqdi atau ma’qud alaih
yaitu objek akad atau sesuatu yang hendak diakadkan. Bisa berupa harta
benda, barang atau non barang atau berupa manfaat (jasa). Misalnya barang yang dijual
dalam akad jual beli, atau yang disewakan dalam akad sewa-menyewa dan
sejenisnya.
Obyek ini juga harus memenuhi syarat, baru dikatakan akadnya sah.
Syarat-syarat:
a)
Objek akad dapat diserahkan
atau dapat dilaksanakan
Apabila obyek akad itu tidak bisa ditransasikan secara syariat,
maka akadnya tidak sah. Syarat dimaksud berdasarkan larangan Nabi
SAW dalam jual beli, yaitu jangan menjual barang yang tidak ada padamu (tidak
dimiliki) dan jangan melakukan jual beli secara gharar (objek yang tidak dapat
dipastikian).
Misalnya pada akad Mu’awadhah (transaksi bisnis), maka yang menjadi
obyek haruslah barang yang bernilai, sepenuhnya milik transaktor dan tidak
terkait dengan hak orang lain. Berdasarkan ini, para Ulama ahli fiqih melarang
beberapa bentuk transaksi berikut :
(1)
Jika obyek
akadnya adalah manusia yang merdeka (non budak), karena orang yang merdeka bukan harta, sehingga tidak boleh
diperjualbelikan dan tidak boleh dijadikan jaminan hutang.
(2)
Jika obyek
akadnya adalah sesuatu yang najis,
seperti bangkai, anjing dan babi. Juga semua barang yang suci yang berubah
menjadi najis yang tidak mungkin disucikan lagi, seperti cuka, susu dan benca
cair lainnya yang terkena najis. Namun jika bisa dibersihkan, maka itu boleh
dijadikan sebagai obyek akad.
(3)
Jika obyeknya
adalah barang yang tidak dapat dimanfaatkan, karena fungsi
legal dari suatu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut.
Komoditi yang tidak berguna ibarat barang rongsokan yang tidak dapat
dimanfaatkan. Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti
minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat jadikan obyek akad.
b) Objek akad dapat ditentukan
Objek akad diketahui dengan jelas oleh para pihak,
agar tidak menimbulkan sengketa dan munculnya pertentangan para pihak.
Jika obyeknya adalah barang yang diperjualbelikan secara langsung,
maka traksaktor harus mengetahui wujudnya. Dan harus diketahui ukuran, jenis
dan kriterianya, apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan transaktor
namun barang tersebut tidak ada di lokasi transaksi, seperti dalam jual beli
as-Salam, berdasarkan sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa
yang melakukan jual beli As-Salm, hendaknya ia menjual barangnya dalam satu
takaran yang jelas atau timbangan yang jelas, dalam batas waktu yang jelas.”
3. Shighatul ‘Aqdi
Yaitu pernyataan kalimat akad atau ungkapan atau yang mewakilinya yang bersumber dari transaktor untuk
menunjukkan keinginannya terhadap keberlangsungan transaksi dan sekaligus mengisyaratkan
keridhaannya terhadap akad tersebut. Para Ulama ahli fiqih membahasakannya
dengan îjâb dan qabûl (serah terima).
Namun
mereka berbeda pendapat tentang definisi ijâb dan qabûl. Menurut madzhab
hanafiyyah, ijâb adalah kalimat transaksi yang diucapkan sebelum qabûl, baik
bersumber dari pihak pemilik barang (dalam akad jual-beli, sewa-menyewa)
ataupun bersumber dari pembeli (jika dalam akad jual beli).
Sementara menurut jumhur Ulama, pemilik pertama yang mengucapkan
ijâb sementara calon pemilik kedua yang mengucapkan qabûl.
Pada dasarnya ketika seseorang hendak mengungkapkan keinginannya,
maka yang dia pergunakan adalah untaian kata-kata. Sehingga lafazh dan untaian
kata-kata adalah cara utama dalam mengungkapkan keridhaan. Namun ini terkadang bisa diwakili dengan yang lainnya seperti
isyarat, tulisan, surat dan saling memberi dan lain sebagainya. Oleh karena itu
shighat (kalimat transaksi) ini dapat dilakukan dengan dua cara :
a.
Shighat qauliyah (ucapan lisan). Ijâb qabûl ini dapat diwujudkan dengan tulisan
atau utusan perwakilan. Apabila seorang menulis kepada pihak kedua lalu
mengirimnya dengan faks atau mengirim orang untuk membawa faktur penjualan lalu
pihak kedua menerimanya di majlis akad maka akad jual beli itu sah. Dalam ijâb
qabûl disyaratkan beberapa syarat diantaranya :
1)
Ada relevansi
antara qabûl dan îjâb dalam masalah ukuran, kriteria, pembayaran dan tempo.
Jika tidak relevan, maka akad itu tidak sah.
2)
Ijâb dan qabûl
bersambung dan ini terwujud dalam satu majlis atau dalam satu lokasi. Karena
îjâb itu hanya bisa dianggap bagian dari transaksi bila ia bersambung dengan
qabûl. Perlu dicatat, bahwa kesamaan lokasi tersebut disesuaikan dengan kondisi
jaman. Dalam kondisi tertentu, akad bisa berlangsung melalui pesawat telpon,
kecuali akad nikah, akad jual beli salam dan beberapa akad lainnya yang tidak
bisa via telepon. Ketika akad dilakukan via telepon, maka lokasi akad adalah
masa berlangsungnya percakapan via telpon. Selama percakapan itu masih
berlangsung, dan line telpon masing tersambung, berarti kedua belah pihak masih
berada dalam lokasi transaksi. Terkait dengan syarat ijâb dan qabûl harus
bersambung dan terjadi dalam satu majlis, ada beberapa akad yang
diperkecualikan, karena tidak bisa dan bukan menjadi syarat, misalnya:
-
Akad wasiat
(transaksi wasiat). Ijâb dalam akad ini dilakukan saat pemberi wasiat masih
hidup dan qabûl dari pihak penerima wasiat tidak akan dianggap kecuali setelah
orang yang berwasiat meninggal dunia. Akad wasiat menjadi tidak sah apabila
serah terima barang yang diwasiatkan dilakukan di majlis îjâb atau setelahnya
selama pemberi wasiat masih hidup.
-
Akad Washâyah
yaitu akad penyerahan wewenang setelah kematian orang yang memiliki kewenangan
tersebut. Seperti untuk melunasi hutang, mengembalikan barang titipan. Orang
yang diberi wewenang dinamakan washiy dan seseorang tidak anggap washiy kecuali
setelah yang memberikan wewenang itu meninggal. Karena dalam akad washâyah
tidak disyaratkan îjâb dan qabûl itu dalam satu majlis.
-
Akad Wakalah, Wakalah
secara etimologis adalah penjagaan, jaminan, tanggungan, pemberian kuasa. Dan
juga akad wakalah bisa diartikan pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai
pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang
diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa
atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah
dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas
dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi
kuasa.
3)
Antara îjâb dan
qabûl tidak diselingi jeda waktu lama yang mengisyaratkan ketidakinginan salah
satu pihak. Tidak ada indikasi yang menunjukkan penolakan atau pengunduran diri
dari salah satu pihak, karena jika indikasi itu ada, maka bisa membatalkan îjâb. Kalau
beberapa saat setelah ada indikasi penolakan itu baru ada qabûl, maka qabûl itu
sudah tidak berguna lagi. Karena tidak terkait lagi dengan îjâb sebelumnya
secara tegas.
4)
Kedua belah
pihak mendengar ucapan îjâb qabûl. Apabila jual beli menggunakan saksi maka
pendengaran saksi cukup untuk mengesahkan jual beli tersebut.
5)
Ijâb masih
berlaku sampai ada qabûl dari pihak kedua. Kalau pihak pertama telah menarik
îjâbnya, lalu setalah itu ada qabûl, maka qabûl seperti ini dianggap qabûl
tanpa îjâb dan tidak diperhitungkan.
b.
Shighatul
fi’liyah (dengan perbuatan) dinamakan juga
al-mu’athah yaitu serah terima tanpa ucapan. Seperti orang yang membeli barang
yang sudah jelas harganya lalu ia ambil barang dan menyerahkan uang pembayaran.
Ini sering terjadi di supermarket dan toko-toko zaman ini. Demikian juga
aktifitas jual beli via bursa efek, dimana akad transaksi terjadi dalam
hitungan menit bahkan detik dengan aturan dan sistem yang telah disepakati
perusahan dan orang-orang yang bertransaksi untuk menunjukkan keridhaan. Maka
ini semua sah apabila sudah ada nota kesepakatan antara perusahaan yang terkait
dengan penjual dan pembeli atas satu sistem yang mengungkapkan keridhaan semua
pihak. Seperti nomor kartu visa via internet.
MACAM-MACAM AKAD
1. Dilihat dari ada atau tidaknya qismah
(pembagian) pada akad tersebut, maka dari segi ini akad terbagi pada:
a) Aqad Musamma yaitu akad-akad yang telah
diberikan namanya oleh syara’ dan ditetapkan untuknya hak-hak tertentu. Seperti jual beli (ba’i), ijarah
(sewa-menyewa), rahn (gadai), syirkah, mudharabah, muzara’ah, dll.
b) Aqad Ghairu Musamma yaitu akad-akad yang tidak
diberikan namanya secara tertentu dan tidak ditentukan hukum-hukumnya oleh
syara’
2. Dilihat dari sifat dan hukum
akad
a) Aqad sah (Shahih), yaitu akad
yang halal dan memenuhi rukun serta syarat-syaratnya dan tidak terdapat satu
sifat yang menyebabkan batalnya akad tersebut.
b) Aqad tidak sah (ghairu shahih),
yaitu akad yang tidak memenuhi rukun dan syaratnya, atau terdapat sifat yang
menyebabkan batalnya akad tersebut.
3. Dilihat dari segi maksud dan
tujuan akad (hukumnya)
a) Akad at-tamlikiyah, yaitu akad sebagai
proses perpindahan kepemilikan atas benda atau manfaat, baik dengan imbalan
maupun dengan tanpa imbalan.
b) Akad al-isbath, yaitu akad yang
berbentuk melepaskan hak tanpa ataupun dengan imbalan.
c) Akad al ithlaq, yaitu akad yang
bertujuan melepaskan/menyerahkan kekuasaan untuk melakukan sesuatu perbuatan
kepada orang lain, seperti wakalah (perwakilan) dan tauliyah (penyerahan
kekuasaan).
d) Akad al-taqyid, yaitu akad yang
bertujuan untuk mencegah seseorang bertasharruf, seperti pencabutan kewenangan
atau menghentikan kuasa wakilnya yang berkuasa atas namanya.
e) Akad Al tawtsiq, yaitu akad
yang bertujuan untuk memperkuat atau menanggung akad lain, seperti akad gadai
(rahn), akad kafalah, dan hawalah.
f) Akad Al-Isytirak, yaitu akad
yang bertujuan untuk bekerjasama untuk memperoleh hasil atau keuntungan, missal
mudharabah, syirkah, muzara’ah, dan musaqah.
g) Akad al-hifdz, yaitu akad yang
bertujuan untuk menjaga harta benda, seperti akad wadhi’ah.
4. Dilihat dari ‘ainiyah dan
ghairu ‘ainiyah
Kategori akad ini didasarkan
pada sisi penyempurnaan akad. Akad ‘ainiyah yaitu akad yang harus disempurnakan
dengan penyerahan harta benda objek akad, seperti akad ‘ariyah, rahn, wadi’ah,
ba’I, dll.
Sementara akad ghairu ‘ainiyah
yaitu akad yang didasarkan pada kesempurnaan bentuk akadnya saja dan tidak
menuntut adanya serah terima.
PENUTUP (KESIMPULAN)
Tujuan
dari penetapan aturan akad ini adalah agar terjaga hak dan kewajiban masing-masing, menghindari penjajahan
atas hak orang lain, dan penipuan. Bahkan bila terjadi perselisihan, maka
dengan adanya ketetapan aturan ini, akan mudah diurai permasalahan dan tanggung
jawab masing-masing pihak, sehingga konflik relasi sosial dan kontrak tersebut
bisa diatasi bersama dengan saling menguntungkan, tanpa ada yang dirugikan,
ditipu atau merasa dijatuhkan. Inilah maqashid syari'ah terkait dengan aqad
tersebut. Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat
transaksi, maka peluang konflik dan pertentangan yang mungkin timbul di masa
mendatang semakin kecil.