Menciptakan Islam Moderat dengan Konsep Islam Nusantara || Essay

Menciptakan Islam Moderat dengan Konsep Islam Nusantara




Masyarakat Asia Tenggara memang memiliki tradisi yang sangat beragam. Negara yang paling banyak memiliki keberagaman antara lain Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Oleh karena itu, sepanjang tahun 1930 dan 1940 di barat, ketiga Negara ini terutama Indonesia dipandang sebagai lokus klasik dalam pembentukan pluralisme dalam masyarakat.

Pemunculan Islam Nusantara merupakan ciri khas Indonesia, di mana Islam Nusantara ini di nyatakan sebagai agama yang universal, dimanifestasikan dalam ajarannya, yang mencakup hukum agama (fiqh), kepercayaan (tauhid), serta etika (akhlak). Meskipun Islam Nusantara memberikan nuansa baru dalam beragama Islam dengan memasukkan budaya dalam agamanya, namun cara beragama seperti ini tidak menghilangkan kemurnian ajaran Islam itu sendiri, dengan menjadikan al Quran dan Hadits sebagai pedoman dan tuntunan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari multi aspek, baik suku, ras, maupun agama secara nyata telah memberikan kontribusi terhadap dinamika problem masyarakat Indonesia.Tradisi Islam Nusantara sebagai bagian dari tradisi di Indonesia mengandung nilai-nilai multikultural yang bisa dijadikan basis pendidikan multikultural bagi masyarakat(Choirul Mahfud, 2006. Pemeliharaan dan penghargaan terhadap tradisi Islam Nusantara bisa dipastikan juga merupakan penghargaan terhadap nilai-nilai multikultural. Hal inilah yang menjadikan tradisi Islam Nusantara patut dijadikan sebagai basis pendidikan multikultural di masyarakat. 

Problematika umat Islam semakina kompleks, tidak hanya menyangkut aspek teologis semata, tetapi sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan, salah satunya aspek politik. Sejarah mencatat bahwa Islam terpecah menjadi beberapa golongan karena berlatar belakang masalah politik. Sementara masalah teologis yang dihadapi oleh umat Islam sekarang adalah benturan antara paham Islam yang beragam, seperti halnya paham Fundamentalisme dan liberalisme.

Moderasi Islam hadir sebagai wacana atau paradigma baru terhadap pemahaman keislaman yang menjunjung tinggi nilai-nilai tasamuh, plural dan ukhuwah, Islam yang mengedepankan persatuan dan kesatuan umat, dan Islam yang membangun peradaban dan kemanusiaan. 

Islam Nusantara lahir sebagai alternatif model pemikiran, pemahaman, dan pengamalan Islam yang moderat, terhindar dari paham fundamentaslime dan liberalisme. Islam Nusantara menawarkan sebuah konsep dan gagasan anti mainstream. Konsep dan gagasan ini diharapakan mampu membangun sebuah keharmonian sosial, budaya, dan agama, serta membangun peradaban dan kemanusian Islam di Indonesia. 

Islam Nusantara : Wujud Moderasi Islam di Indonesia

Islam Nusantara adalah Islam yang lahir dan tumbuh dalam balutan tradisi dan budaya Indonesia, Islam yang damai, ramah dan toleran. Abdurrahman Wahid dengan gagasannya “Pribumisasi Islam” menggambarkan Islam Nusantara sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan, kemudian diakulturasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Islam Nusantara berdiri di antara dua paham yang bersebrangan yaitu liberalisme dan fundamentalisme. 

Islam Nusantara memiliki lima karakter khusus yang membedakannya dengan Islam Arab ataupun Islam lain di dunia. Lima karakter tersebut yaitu pertama, kontekstual, yaitu Islam dipahami sebagai ajaran yang bisa disesuaikan dengan keadaan zaman. Kedua, toleran. Islam Nusantara mengakui segala bentuk ajaran Islam yang ada di Indonesia tanpa membeda-bedakannya. Ketiga, menghargai tradisi. Islam di Indonesia merupakan hasil akulturasi antara budaya lokal dengan ajaran Islam. Islam tidak mengahapus budaya lokal, namun memodifikasinya menjadi budaya yang Islami. Keempat, Progresif. Yaitu suatu pemikiran yang menganggap kemajuan zaman sebagai suatu hal yang baik untuk mengembangkan ajaran Islam dan berdialog dengan tradisi pemikiran orang lain. kelima, membebaskan. Islam adalah sebuah ajaran yang mampu menjawab problem-problem dalam kehidupan masyarakat. Islam tidak membeda-bedakan manusia. Dalam kacamata Islam, manusia dipandang sama, yaitu sebagai makhluk Tuhan. Islam Nusantara adalah cerminan dari ajaran Islam yang membebaskan pemeluknya untuk mencari hukum dan jalan hidup, menaati atau tidak, dengan catatan semua pilihan ada konsekuensinya masing-masing.

Moderasi Islam lahir sebagai solusi anti mainstream Islam yang akhir-akhir ini kian menghawatirkan dan membahayakan akidah umat Islam, baik di Indonesia maupun Dunia. Rasulullah saw. pernah bersabda “bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam 73 golongan dan hanya ada satu yang akan selamat, yaitu ahlusunnah wal jama’ah.” Hadis Rasulullah saw. tersebut sudah terbukti kebenarannya dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa golongan yang kita kenal dengan aliran Kalam. 

Ada dua aliran Kalam yang sangat mendominasi pemikiran Islam dari dulu hingga sekarang, yaitu Mu’tazilah11 dan Asy’ariyah1. Mu’tazilah merupakan aliran kalam terbesar dan tertua dalam sejarah Islam.  Sementara itu aliran Asy’ariyah lahir sebagai reaksi dari aliran Mu’tazilah. Nama Asy’ariyah diambil dari nama pendirinya yaitu Abu al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 Hijriyah. 

Ide Islam Nusantara bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Upaya itu dalam ushul fiqh disebut dengan ijtihad tathbiqi, yaitu ijtihad untuk menerapkan hukum. Sebab, Islam nusantara tak banyak bergerak pada aspek ijtihad istinbathi, yaitu ijtihad untuk menciptakan hukum. Imam al-syathibi membedakan ijtihad tathbiqhi dan ijtihad istinbathi. Menurutnya, jika ijtihad istinbathi tercurah pada bagaimana menciptakan hukum (insya’ al-hukum), maka ijtihad tathbiqi berfokus pada aspek penerapan hukum (tathbiq wa tanzil al-hukm) (Ghazali, 2016:106). 

Agama adalah ciptaan Allah SWT yang konstan. Esensinya adalah tauhid uluhiyah dan mengesakannya dalam beribadah, mensyukuri nikmat-nikmat dengan melakukan amal saleh, serta beriman kepada kebangkitan, hisab dan balasan atas amal setelah kehidupan di dunia ini. Karena Allah SWT adalah Esa dan karena agama adalah ketetapan Illahi maka agama Allah SWT adalah satu. Diawali dari risalah-risalah agama sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad saw. Hakikat agama ini diperkuat oleh al-Qur’an, kitab suci yang menyempurnakan agama yang datang dengan syari’at penutup dan universal, serta elemen yang menyempurnakan bangunan yang berdiri di atas akidah yang sama, yang dikenal oleh seluruh risalah langit yang dikirim kepada umat manusia. 

Dari konteks di atas dapat dilihat meskipun Islam Nusantara mengedepankan budaya atau memberikan nuansa baru dalam beragama Islam. Namun, sama sekali tidak merubah kemurnian ajaran Islam itu sendiri, tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam beragama. Justru dengan Islam Nusantara, penganut ajaran Islam terkesan tidak kaku dan lebih humble. Dan Islam nusantara maka bisa ditelusuri bahwa Islam Nusantara merupakan agama yang ramah dengan budaya. Orang ber-Islam secara kaffah namun tidak meninggalkan tradisi-tradisi kebudayaannya, justru tradisi atau kebudayaannyalah yang membuat mereka semakin kuat dan percaya dengan agama yang diyakininya.




Daftar Pustaka

 Agis, Ahmad Mubarok & Diaz Gandara Rustam. "ISLAM NUSANTARA: MODERASI ISLAM DI INDONESIA."Journal of Islamic Studies and Humanities. 2018. UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta.  Vol. 3, No. 2. hlm. 29-33

Hanafi, Ahmada. Theology Islam. Jakarta: Cv. Bulan Bintang, 1982

Hidayati, Wiji. Ilmu Kalam : Pengertian, Sejarah, Dan Aliran-Alirannya (Yogyakarta: Program Studi Manajemen Pendidikan Islam UIN Yogyakarta, 2017), 134.

Jazimah, Hanum Puji Astuti. "NUSANTARA: SEBUAH ARGUMENTASI BERAGAMA DALAM BINGKAI KULTURAL." Interdisciplinary Journal of Communication. 2017. IAIN Salatiga: Salatiga. Volume 2, No.1,  hlm. 155-157.

Rahmat, M. Imdadun. Islam Pribumi : Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Erlangga, 2007.

Sahal, Akhmad, and Munawar Aziz. Islam Nusantara : Dari Ushul Fiqih Hingga Konsep Historis. Bandung: Mizan, 2015.


Lebih baru Lebih lama